Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 01 Januari 2011

Sadomasokisme

Sadomasokisme saat ini tidak hanya dipandang sebagai suatu penyimpangan, melainkan dapat dilihat sebagai preferensi atau variasi seksual, gaya hidup atau hubungan, metode pencapaian puncak spiritualitas, pelepas ketegangan dan bahkan, tak mesti melibatkan elemen seksual. Bagian pertama tulisan ini khusus membahas sadomasokisme “tradisional”, sadomasokisme sebagai parafilia, sedangkan sisanya saya akan uraikan di bagian selanjutnya.



Definisi tentang sadisme seksual yang saya rangkum dari beberapa buku adalah penyimpangan seksual di mana seseorang secara nyata menyebabkan rasa sakit fisik maupun psikologis pada orang lain secara sengaja untuk memperoleh kepuasan seksual dan atau membangkitkan gairah seksual. Sedangkan masokisme seksual merupakan penyimpangan seksual di mana seseorang punya kebutuhan untuk mengalami (melibatkan tindakan nyata yang menyebabkan) rasa sakit fisik dan psikologis untuk memperoleh kepuasan seksual dan atau membangkitkan gairah seksual.

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV, 1994) memaknai sadisme seksual dan masokisme seksual secara terpisah, definisinya kurang lebih sama dengan definisi di atas. Namun, untuk dapat dikatakan suatu gangguan (penyakit), fantasi, dorongan seksual dan perilaku sadomasokisme tersebut mesti telah menimbulkan distres (stres negatif) dan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya secara signifikan dan bersifat klinis, dan atau tidak ada persetujuan mutual oleh kedua belah pihak. Kemudian aktivitas sadomasokisme merupakan satu-satunya cara pemuasan seksual selama enam bulan. Tanpa kriteria di atas, aktivitas sadomasokisme tidak bisa diklasifikasikan sebagai gangguan mental. Sekadar informasi, gangguan preferensi seksual bisa terjadi bersama dengan praktek sadomasokisme.

Sadisme seksual berbeda dengan gangguan kepribadian sadistik. Orang dengan gangguan kepribadian sadistik kejam, agresif, merendahkan orang lain. Ia menggunakan kekerasan dan kekejian untuk mencapai tujuan, memperlakukan orang lain dengan kasar, menggemari penderitaan makhluk hidup, mengendalikan orang lain dengan rasa takut, mengekang kebebasan orang lain dan tertarik dengan kekerasan, senjata dan luka. Perilakunya tersebut tidak hanya ditujukan pada satu orang tertentu dan karakter utama yang membedakannya dengan sadisme seksual, kekejamannya bukan untuk memperoleh kepuasan seksual. Jadi ingat kata dosen saya (kredit untuk Pak Martono), “Orang kejam itu enak saja karena tidak merasa ada yang salah. Yang susah, kan korban kekejamannya.”

Masokisme seksual juga harus dibedakan dari sindrom martir (orang yang ingin jadi martir, mencari penderitaan atau penganiayaan untuk memenuhi kebutuhan psikologis) dan gangguan kepribadian mengalahkan diri (meski juga dikenal dengan gangguan kepribadian masokistik). Gangguan kepribadian mengalahkan diri merupakan pola perilaku mengalahkan diri, menghindar dari kesenangan dan tertarik pada penderitaan. Orang dengan gangguan kepribadian ini mencari orang untuk mengecewakan diri sendiri, menolak pertolongan, hal positif yang dialami direspon dengan depresi atau menyakiti diri, suka memancing amarah dan penolakan, mencari pasangan yang mengabaikannya dan sejenisnya. Perilaku tersebut tidak khusus terkait dengan respon seksual dan tidak hanya terjadi ketika depresi.

Ada lagi yang namanya sindrom Skoptic, yaitu kondisi di mana seseorang terfokus pada atau melakukan sendiri mutilasi genital (pikirkan orang yang memotong penisnya sendiri…ouch…). Orang dengan kondisi masokisme yang ekstrem bisa melakukan ini, tapi seorang masokis belum tentu mengidap sindrom Skoptic (yang bikin alat kelamin ciptaan Tuhan jadi mubazir lantaran dirusak sampai tak bisa berfungsi).
Perihal sadomasokisme sebagai gangguan atau penyimpangan seks sudah saya uraikan.

para ahli saat ini menganggap bahwa BDSM yang dilakukan dengan adanya persetujuan kedua belah pihak bukanlah penyakit atau penyimpangan. BDSM dianggap penyakit bila terkait dengan gangguan kepribadian lainnya. Praktisi BDSM secara jelas juga menetapkan batasan antara BDSM konsensual dengan penyiksaan seksual. Yang penting adalah ada kesediaan dari masing-masing pihak. Aktivitas BDSM cenderung berbentuk “adegan” atau “sesi” yang dilakukan pada waktu tertentu di mana kedua pihak menikmati skenario yang melibatkan salah satu pihak melepaskan kontrol atau otoritas. Pihak tersebut suka rela, bukan dipaksa, melakukan hal-hal yang diminta dari mereka. Semua pihak yang terlibat menikmati sesi tersebut, meski praktek yang dilakukan (disakiti, dikekang, dll) dalam situasi normal tidak menyenangkan. Pihak yang submisif menyerahkan kontrol pada pihak dominan melalui ritual pertukaran kekuasaan. Pihak dominan biasa disebut “dom(inan)” atau “atas”, sedangkan pihak submisif dinamai “bawah” atau “sub(misif)”. Hubungan seksual (baik itu oral, anal atau vaginal) dapat terjadi dalam satu sesi, tapi tidak esensial.
Itu tadi BDSM secara umum, sekarang mari kita bedah subdivisinya secara terpisah, meskipun dalam prakteknya antara subdivisi BDSM yang satu dengan yang lain kerap tumpang tindih. Baiklah, kita mulai dari yang pertama : Bondage and Discipline. Bondage and Discipline merupakan dua aspek BDSM yang tak selalu saling mengait, tapi bisa muncul bersamaan. Bondage meliputi praktek-praktek pengekangan untuk mendapat kepuasan, biasanya (tapi tak selalu) merupakan praktek seksual. Bondage dipraktekkan dengan mengikat anggota tubuh pasangan, bisa dengan borgol atau tali (atau scarf, kalau cuma setengah niat), dapat pula dengan merantai tubuh pasangan ke jeruji perentang atau menyalibkan pasangan. Riset dengan subjek praktisi BDSM di AS menunjukkan bahwa separuh subjek pria dan banyak wanita menganggap bondage erotis.

Discipline dalam konteks BDSM prakteknya agak berbeda dengan disiplin sebagai nilai kehidupan pada umumnya, meski intinya sama : patuh pada peraturan. Istilah discipline dalam BDSM mencakup penggunaan aturan dan hukuman untuk mengendalikan perilaku pasangan. Hukuman bisa berupa fisik (dirotan), psikologis (dipermalukan), maupun kehilangan kebebasan secara fisik (dirantai). Discipline juga dapat berupa latihan terstruktur bagi pasangan yang di “bawah”. Discipline kadang dipraktekkan bersama dengan bondage dan ini membuat pembedaan antara bondage dan discipline kadang sulit ditetapkan, apalagi discipline juga kerap digabungkan dengan aspek sadomasokisme.
Sekarang kita menginjak subdivisi berikutnya, yaitu D/s, dominasi dan submisi. D/s merupakan satu set perilaku, ritual, kebiasaan berkenaan dengan memberi dan menerima dominasi satu individu atas individu lainnya dalam konteks erotis atau gaya hidup. D/s cenderung mengeksplorasi BDSM dari aspek mental. Banyak relasi manusia yang mengandung unsur D/s meski tidak dianggap sebagai penganut BDSM. Misalnya pasangan suami-istri yang istrinya amat dominan dalam kehidupan rumah tangga dan suaminya sangat penurut pada istrinya. Relasi tersebut termasuk BDSM jika D/s dipraktekkan secara sadar (sengaja) dan suka rela. Mengontrol dan dikontrol orang lain umumnya lebih ke arah dinamika kekuasaan dalam satu hubungan, ketimbang perilaku tertentu dan kadang (tapi tidak selalu) melibatkan sadomasokisme.

Sampailah kita ke subdivisi S&M, sadomasokisme. Dalam konteks aktivitas seksual konsensual, sadomasokisme merujuk pada kepuasan dan bangkitnya gairah seksual karena menerima atau menyebabkan rasa sakit, malu atau penderitaan pada orang lain. Tapi jabaran istilah ini secara psikologis tidak betul-betul akurat. Sadisme secara absolut adalah orang yang kesenangannya melukai orang tak tergantung persetujuan korbannya. Tak adanya persetujuan bisa merupakan hal yang dibutuhkan untuk menjadi seorang sadis murni. Seorang masokis dalam BDSM konsensual adalah orang yang menikmati fantasi seksual atau dorongan untuk dibuat menderita, baik sebagai pengganti maupun penyedap kenikmatan seksual, biasanya dilakukan sesuai dengan skenario “adegan” yang disepakati. Jadi, seorang masokis tidak menikmati rasa sakit di luar skenario, misalnya karena kecelakaan, dioperasi, dsb. Sadomasokisme tidak hanya dipraktekkan dalam konteks seksual, tapi ada juga yang nonseksual.

Sadomasokisme cenderung mengarah pada aspek fisik dalam BDSM. Fokusnya pada memberi dan menerima rasa sakit. Anda barangkali mengira bahwa permainan kekuasaan dalam S&M sejalan dengan D/s, yang berkedudukan di “atas” yang mendominasi. Namun, nyatanya kebalikannyalah yang berlaku. Kekuasaan kerap terletak pada pasangan yang di “bawah” karena dialah yang biasanya menciptakan skenario dan menetapkan batasan untuk setiap “adegan”. Si sadis dapat saja harus bekerja keras untuk menyediakan jenis siksaan sesuai dengan yang dimaui si masokis.

Dalam tingkatan fisik, BDSM terkait dengan pemberian rasa sakit fisik, penderitaan dan sensasi intens lainnya secara intensional. Praktisi BDSM sering membandingkan efek yang disebabkan pelepasan endorphin (substansi kimia yang bisa membuat orang “melayang” setelah melakukan aktiitas tertentu, seperti seks dan merupakan respon tubuh terhadap sensasi intens tertentu) ketika melakukan praktek BDSM dengan “melayang” ala pemakai narkoba atau kondisi pascaorgasme. Efek mirip trans (trance) mental ini dikatakan sangat nyaman. Seorang filsuf, Edmund Burke, menyebut sensasi kenikmatan oleh rasa sakit ini dengan kata “sublim”. Ada pula yang berpendapat bahwa area di otak yang mengatur stimulus seksual dan rasa sakit bertumpang tindih sehingga ada orang yang mengasosiasikan rasa sakit dengan kenikmatan seksual.
Kesenangan yang diperoleh dalam satu sesi BDSM sangat erat bergantung pada kompetensi pasangan yang di “atas” dan kondisi mental dan fisik pasangan yang di “bawah”. Untuk dapat berbagi pikiran dan rasa diperlukan pula saling percaya dan kegairahan seksual. Sebagian kecil praktisi BDSM malah ikut dalam sesi tidak untuk memperoleh kesenangan pribadi, melainkan semata-mata agar pasangannya terpenuhi kebutuhannya. Banyak orang terlibat dalam BDSM karena mengidamkan sensasi fisik tertentu. Untuk memperoleh kepuasan, kuncinya adalah menggubah jenis sensasi yang tepat dengan intensitas yang tepat. Ada praktisi BDSM yang mengibaratkan sensasi tertentu dengan komposisi musik, setiap sensasi bagaikan satu not musik. Jadi, kesan sensasi yang berbeda dikombinasikan untuk menciptakan pengalaman total yang senantiasa dikenang. Namun, bagi beberapa orang, bukan sensasi intensnya yang menyenangkan, tapi pengalaman menguji ketahanan dan batasan-batasan diri.

Di bagian kedua sudah saya singgung sekilas tentang hubungan yang mempraktekkan BDSM (D/s, khususnya) secara sengaja. Hubungan yang demikian itu disebut play relationship dan definisinya adalah hubungan yang dalam kehidupan kesehariannya dilingkupi oleh konsep BDSM bahkan di luar aktivitas seksual. Pasangan dengan tipe hubungan seperti ini sehari-hari menjaga keseimbangan kekuasaan dan menjadikan aspek BDSM sebagai bagian konsisten dari gaya hidup mereka. Play relationship juga disebut 24/7 relationship, maknanya 24 jam sehari, 7 hari seminggu mempraktekkan BDSM. Dalam hubungan ini pasangan yang dominan mengontrol mayoritas aspek kehidupan pasangan yang submisif, dengan pengecualian pada area pekerjaan, keluarga, teman, dll. Ada satu bentuk hubungan BDSM yang paling tidak umum, yaitu total power exchange di mana pasangan dominan menguasai pasangan submisif secara total.
Saat ini keinginan atau pemikiran terkait dengan BDSM sudah dianggap normal, bahkan sehat, ketika para ahli mulai mempertimbangkan nilai potensi psikologisnya. BDSM menawarkan pelepasan energi seksual dan emosional yang bagi beberapa orang sukar dilakukan lewat seks tradisional. Menurut psikolog sosial dari Case Western Reserve University, Roy Baumeister, Ph.D. , kepuasan dari BDSM adalah sesuatu yang lebih dari seks biasa, itu bisa menjadi pelepasan emosi total. Banyak orang yang melaporkan bahwa hubungan seksual mereka lebih baik ketika dilakukan setelah satu sesi BDSM, tapi tujuan BDSM bukanlah sanggama. Buku S&M: No Longer A Pathology menyatakan bahwa satu sesi yang hebat tidak berujung pada orgasme, melainkan katarsis. Katarsis itu sendiri adalah pembebasan, pelepasan ketegangan dan kecemasan dengan mencurahkan kejadian traumatis masa lalu yang dulunya ditekan.

Terakhir, BDSM bukan hanya cara memenuhi fantasi seksual, tapi juga merupakan jalan spiritual Banyak orang mendapati bahwa rasa sakit, submisi atau dominasi membawa mereka ke kondisi mirip trans (trance) yang dalam. Dalam kondisi demikian, mereka bisa memperoleh visi dan revelasi (dibukakan matanya). Kadang visi tersebut membantu dalam hidup, ditransformasikan dalam seni dan membuat orang jadi lebih bersentuhan dengan alam dan Sang Pencipta.

Sumber:
Dari berbagai sumber

.

Tidak ada komentar: